Asa

Tubuh bugar
Wajah sumringah
Air mata bahagia
Pergi dari rumah membawa asa

Tubuh, tulang berbalut kulit
Wajah, pucat dan sendu
Tak ada air mata
Kembali ke rumah tinggal nama

Birama 1/1

Satu per satu hitungan jam
Aku menggeliat dari tidurku
Dari dekapan ibu aku berontak
Menuju fase kehidupan baruku

Satu per satu hitungan tahun
Tubuhku kaku
Tangan kekar, kaki tegar, wajah sangar
Aku masih mencari hidup

Satu per satu
Rambutku berjatuhan
Tubuh renta, kaki lunglai
Tangan tak lagi kekar, kering dan rapuh
Apakah ini hidup?

080109

Kamis, 8 Januari 2009

Hari terakhir ujian (UTS) di minggu pertama. Waktu tersisa 80 menit sebelum ujian berakhir, saat aku mulai menggoreskan pena ke kertas ini. Suara kertas, harmoni angin yg mengelus dedaunan, dan kicauan burung di luar. Hanya itu suara yg terdengar di ruangan kecil ini. Selain itu, semuanya hening. Peserta ujian menunduk dalam sunyi. Menatap huruf-huruf yang menari lincah di lembar jawaban mereka. Ada satu-dua yang tersenyum menatap kertasnya. Entah senyum puas karena dapat menemukan jawaban soal, atau hanya senyum pasrah melihat jawaban yang belum tentu benar.

Penulis sendiri iseng-iseng mencorat-coret kertas buram yang disediakan pengawas. Tak tahu juga jawabannya benar atau salah. Pekerjaannya memang hampir selesai, tinggal dua nomor pilihan ganda yang masih diragukan jawabannya. Penulis tiba-tiba tersadar, ke manakah bapak pengawas? Dari belakang terdengar suara menjawab pertanyaan tersebut.
"Yang sudah selesai bisa dikumpulkan?"
"????" gumaman para peserta ujian muncul, bukankah masih lama? pikir mereka.
"Masih ada satu jam lagi." sahut pengawas.
"Huff.." dengus kelegaan keluar dari mulut para peserta.

Sudah sepuluh menit sejak penulis mulai menulis kisah ini. Dan waktu yang tersisa tinggal 1 jam, tapi penulis bermaksud meninggalkan ruangan ini. Meninggalkan hari terakhir ujian di minggu pertama. Masih 3 hari lagi, ujian hari Senin depan dihadapi. Penulis segera menuliskan 2 jawaban terakhirnya (lagi-lagi entah tepat atau tidak), menyerahkan lembar jawaban ke pengawas, dan keluar dari ruangan sempit ini.

Suara kertas yang dibalik, dengungan peserta ujian di luar, dan suara gesekan sepatu dengan lantai masih terdengar di situ. Di ruangan sempit lantai tiga salah satu gedung di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang menjadi saksi bagi 18 orang mahasiswa. Para peserta ujian. Di siang hari yang mendung.

Sebuah Kisah

Hanya sepotong puisi
Mungkin juga hanya basa-basi
Tapi bukan juga tanpa isi
Ini hanyalah sepotong puisi

Hanya selembar catatan
Yang ditulis oleh tangan
Seorang amatiran
Yang tak tahu apa-apa
Tapi ingin menjadi sastrawan

Hanya sepatah-dua patah kata
Yang tak terucap
Dari hati seorang pria
Yang tak mampu bercerita
Tentang perasaan untuk sang Hawa

191208

Hari Jumat, 19 Desember 2008. Hari terakhir kuliah di STAN sebelum pulang, kembali ke kampung halaman. Tak terdengar suara-suara mahasiswa yang duduk di ruangan. Tidak hening. Hanya ada satu suara. Suara dosen yang menerangkan slide-slide di papan yang sedari tadi terus berganti.Mengiringinya suara derit kursi yang bergeser, sesekali juga terdengar bisikan-bisikan dari beberapa mahasiswa, dan sepatu yang bergesek di lantai.

Semua, ng... tidak, tidak semua. Bebrapa pasang mata menatap sang dosen dan materi yang diajarkannya. Beberapa lagi, termasuk penulis sendiri, sibuk berkelana dengan dunianya sendiri. Dan yang menatap sang dosen itu, entah apa alasannya. Memang benar-benar mendengarkan, ataukah hanya agar saat ditanya tidak begitu kaget.

Derit kursi, gesekan sepatu, dan ketukan di meja terdengar kembali. Sang dosen masih bercuap-cuap. Beberapa pertanyaan kadang keluar dari mulut sang dosen dan kadang beberapa mahasiswa, sepertinya mahasiswa yang "itu-itu" saja, menanggapinya. Derit kursi, suara lembaran buku dibalik, dan bunyi reaksi antara spidol dengan papan terdengar.

.....

Bberapa menit sebelum jam mata kuliah ini berakhir. Sekarang tak hanya mahasiswa, dosen di depan juga sibuk dengan dunianya. Menerangkan hal-hal itu lagi dengan gaya bahasa yang itu-itu juga. Tak berubah. Dengungan dan gumaman para mahasiswa lain seperti gelombang longitudinal, kadang naik-kadang turun. Simfoni dalam ruangan kecil ini mulai terdengar harmoni. Penjelasan dosen, ketukan di meja, serta beragam bunyi reaksi benda dengan lantai berpadu dengan nada yang pas.

Sahabat -2-

"Den, istirahat dulu."
"Tahan Gan. Bentar lagi nyampe kok. Kita istirahat di sana aja."
Terik matahari menyengat keempat muda-mudi itu. Kira-kira sudah hampir enam jam mereka meninggalkan perkemahan mereka. Namun, bagi mereka perjalanan itu tidak melelahkan. Candaan, gurauan, dan tawa selalu menemani mereka.
"Yak, sedikit lagi. Dan ini dia 'the most beautiful place' itu!"
Keindahan alam Sang Pencipta membuat mereka takjub. Mata air di lembah pegunungan yang jernih, pohon-pohon raksasa yang memayungi mereka dari terik, dan kicauan berbagai jenis burung tidak dilewatkan begitu saja. Setelah meletakkan ransel mereka di samping sungai yang mengalir, semua sibuk dengan dunianya masing-masing. Terutama Ganba, dia segera mengeluarkan kameranya dan mengambil gambar-gambar di sekitarnya. Tirta, Dendra, dan Nay segera menyiapkan makan siang mereka. Menangkap ikan di sungai, membuat kayu bakar, dan menggelar tikar yang mereka bawa.
"Gan, jangan jauh-jauh ya. Soalnya di sebelah sana, di dalam hutan, ada tebing. Hati-hati nanti jatuh." Dendra mengingatkan.
"Oke, Bos!"
Tak lama kemudian, suasana menjadi hening. Hanya terdengar kicauan burung dan gemericik air sungai. Ganba sudah hilang entah ke mana. Nay duduk di tikar sambil membaca buku. Dendra dan Tirta masih sibuk menyiapkan kayu bakar dan bahan makanan mereka. Dalam kesunyian itu mereka dikejutkan oleh teriakan yang dikenal mereka. Mereka bertiga segera berlari ke arah jeritan.
"GANBA!!!"
"Gan! Kamu di mana?!"
Mereka terus berteriak memanggil teman mereka. Sayup-sayup terdengar suara dari arah tebing. Mereka berlari ke arah tebing dengan hati-hati agar mereka tidak tergelincir. Setibanya di sana, yang terlihat oleh mereka adalah Ganba yang sedang berusaha sangat keras berpegangan pada sisi tebing.
"Gan, tenang di situ dulu." Dendra mengulurkan tangannya.
"Cepat Den. Aku udah nggak kuat lagi."
"Ta, tolong bantu aku."
Tirta segera kembali ke tempat peristirahatan mereka dan mengambil beberapa meter tali. Nay yang merasa amat cemas hanya bisa berdiri di belakang Dendra. Tirta yang sudah kembali segera memasang tali di badan Dendra dan mengaitkan sisanya di pohon di dekatnya. Dendra memajukan badannya ke arah Ganba, sementara Tirta menahan talinya agar mereka berdua tak jatuh.
"Gan, cepat! Pegang tanganku!"
"Nggak bisa Den."
"Nggak. Kamu pasti bisa."
"Gan, kamu pasti bisa." Nay memberi semangat.
Ganba berusaha meraih tangan Dendra. Namun, tangannya tergelincir. Tangan Ganba terlepas dari tebing. Pada saat yang bersamaan Dendra melompat dan berhasil meraih tangan Ganba yang besar. Hampir saja mereka berdua jatuh kalau Tirta tidak menahannya dengan kuat.
"DAPAT! Gan, sekarang cepat naik ke badanku."
Tangan Dendra kesemutan. Dia sudah merasa tidak kuat menahan beban Ganba, ditambah lagi tangannya berkeringat. Tirta dengan wajah dan juga tangan memerah menarik tali penahan sekuat tenaga. Nay memandang ketiganya dari tepi tebing dan terus menyemangati Ganba. Ganba sendiri tersenyum, sambil menangis. Dan tiba-tiba dia meracau sendiri.
"Aku seneng banget punya sobat kayak kalian. Waktu pertama ketemu entah kenapa aku langsung ngerasa cocok sama kalian. Den tolong ya, jagain Nay buat aku. Tirta, tetap semangat sama cita-citamu buat galeri lukisan. Hahaha...."
"Gan! Ngomong apaan sih? Cepat naik!"
"Buat satu-satunya manusia paling cantik di sini. Nay. Aku sayang sama kamu. Bodoh banget ya, baru bilang sekarang. Tapi aku lega udah bilang. Maafin aku ya selama ini."
"Tirta! Cepat tarik!"
Dendra menarik tangan Ganba yang hampir lepas dari tangannya. Ganba meraih tangan Dendra yang memerah, tapi kemudian dengan cepat dia melepaskannya. Dendra terkejut. Nay menutup mulutnya dan menitikkan air mata. Tirta merasa tali yang dipegangnya menjadi lebih ringan. Mereka bertiga tidak tahu Ganba akan melakukan hal seperti itu.
"Aku sayang sama kalian semua!!!" Ganba berteriak, sambil tersenyum.
"GANBA!!!"
Semburat cahaya matahari senja menemani mereka dalam sendu. Burung gagak berkoar ikut merasakan kesedihan mereka. Dendra memanjat tebing dengan baju basah dan penuh debu. Tirta duduk meringkuk menutupi wajahnya. Nay menghampiri dan memeluk mereka berdua. Ia tumpahkan tangisnya di pundak Dendra. Tirta mengusap rambut Nay. Semua terdiam dalam kehilangan. Hembusan angin, cahaya senja, dan gemerisik daun mengantarkan kepulangan salah satu sahabat terbaik mereka. Selamanya.

***

Lelaki berbadan tegap itu masih berwajah sendu. Di sampingnya telah ikut melihat sepasang pria-wanita muda. Bayu menyibak dedaunan pohon kamboja. Bianglala terbangun oleh panggilan mentari setelah hujan berhenti turun. Pusara di hadapan mereka bertuliskan nama seorang teman, sahabat, dan saudara terbaik mereka.

GANBA PERDANA
bin
ADI SOEMAKI
Lahir: 2 April 1986
Wafat: 19 Juni 2007

Lelaki berwajah sendu mengeluarkan secarik surat dari dalam amplop coklat yang dibawanya. Dia mulai membaca.

Teruntuk Ganba. Sahabat dan saudara kami tercinta.Hai, Gan! Gimana kabar di sana? Kita bertiga sehat-sehat aja kok. Maaf ya, baru sempat ke sini. Kita ke sini cuman mau ngingetin kamu, hari ini udah tepat 3 tahun kita nggak ketemu. Mungkin aku nggak akan bisa cerita banyak karena kamu tau kan, aku nggak pandai nulis.Selama tiga tahun ini, kita bertiga coba untuk menuhin keinginanmu. Cita-citamu yang paling banget pengen diwujudin lagi dikerjain sama Tirta. Dia ngumpulin semua hasil jepretanmu buat ditaruh di galerinya. O ya, dia juga bikin galeri lukisan lho. Keren banget pokoknya.Tentang kabar Nay, dia sekarang udah nikah. Tau nggak sama siapa? Yang pasti bukan sama aku lah. Nay udah kayak adek aku sendiri. Tirta yang ngelamar Nay. Baru aja, sekitar dua bulan lalu. Aku udah ngira sih kalo Tirta ada perasaan khusus ke Nay. Tapi, kamu tenang aja Gan. Kalo Tirta bikin Nay sampai nangis aku nggak akan maafin dia.Tuh kan, aku nggak bisa cerita banyak. Nggak tau apalagi yang mau aku tulis di sini. Yang pasti kita bertiga masih ngerasa kehilangan kamu Gan. Aku aja sampai saat ini belum bisa nemuin sosok yang kayak kamu. Ceria, gendut, gokil, gila.

Selamat jalan sahabat, semoga lain waktu kita bisa ketemu, di sana.

Salam kangen, sayang, dan cinta.
Sobat dan saudaramu(Dendra, Nay + Tirta)

Ketiga muda-mudi itu menaburkan bunga mawar di atas pusara Ganba. Mereka menundukkan kepala sejenak. Mendoakan salah satu saudara mereka. Angin kembali menyapu tubuh mereka. Matahari perlahan meninggalkan peraduannya. Candra yang masih berwajah pucat telah menempati singgasananya. Mereka bertiga memandang pusara tersebut dan meninggalkannya. Sendirian. Dalam sepi.

***

Selembar foto menjadi saksi awal perjumpaan keempat anak manusia ini. Perjumpaan saat mereka masih memakai seragam putih abu-abu. Saat mereka masih berjalan dalam kebu-abuan hidup. Saat pertanyaan siapakah aku muncul. Saat di mana mereka menikmati masa-masa terindah dalam hidup. Empat potong jaket berwarna merah tua yang mereka pakai akhirnya menyatukan manusia-manusia ini ke dalam ikatan yang lebih kuat. Persahabatan karena rasa percaya bermetamorfosis menjadi persaudaraan yang abadi.

Sahabat -1-

Tetes-tetes air masih menempel pada dedaunan. Genangan air berwarna coklat terlihat di mana-mana. Seorang lelaki dengan wajah sendu memandangi selembar foto yang sedang digenggamnya. Tangannya yang lain membawa sebuah bungkusan coklat yang isinya tak terlihat dari luar. Sinar matahari yang menerpanya membuat garis wajahnya seakan mengeras.

***

"Nay, coba liat nih!"
"Ooo...."
"Hah? Hey, lihat ini!"
"Ganba, aku udah tau kalo itu kamera. Dan kamu nggak perlu heboh kayak gitu, lah."
"Halah, Nay. Kamu kayak nggak tau Ganba itu gimana." sahut Tirta tiba-tiba.
"Nay, Ta. Ini Canon A400, keluaran terbaru Canon. Aku baru aja beli. Wuih, puas banget deh pokoknya. Keunggulannya tuh..."
"Iya, aku tau kalo itu kamera barumu kan. Terus?" potong Nay.
"Tapi, coba liat dulu bentar."
"Udah, udah." Tirta menengahi, "Nggak usah ribut gitu kalian. Kayak anak kecil aja."
Ganba menghempaskan tubuh tambunnya di sofa di samping Nay. Sementara Nay sibuk memainkan ponselnya dan Tirta masih menekuni lukisannya. Hening sejenak.
"Eh, Dendra mana?" Ganba memecah kesunyian, "Kok nggak kelihatan?"
"Iya. Mana nih 'tuan pembuat acara'. Nay?" Tirta menimpali.
"Tau." jawab Nay dengan muka masih cemberut.
Deru motor di halaman menandakan yang ditunggu-tunggu sudah datang. Tak lama, seorang pemuda berbadan tegap yang memakai jaket kulit hitam dan dengan helm di tangan kirinya membuka pintu.
"Oi, pren! Sori telat."
"Dari mana aja sih, Den?"
"Nih." jawab Dendra sembari melemparkan beberapa brosur, "Aku udah nyari tempat-tempat yang asyik. Kalian tinggal pilih aja." lanjutnya sambil menempatkan duduknya di dekat Nay dan melingkarkan tangannya di pundak Nay.
"Ini nih bagus."
"Kalo ini?"
"Nggak, ini nih."
Ganba, Tirta, dan Nay bersahut-sahutan mengusulkan beberapa tempat sambil membolak-balik brosur-brosur itu.
"Aku ikut aja lah. Yang penting, pas di sana harus nggak ngebosenin, ya Den." sahut Tirta.
"Ya, udah. Pilih salah satu. Nanti aku bikin model acaranya seperti apa."
"Aku pengennya tempatnya adem, sejuk, pokoknya nggak panas." pinta Nay.
"Ya udah. Ini aja." Ganba menyodorkan salah satu brosur.
"Atau yang ini." Dendra menyarankan yang lain.

***

"Woi, bangun! Udah jam 5!" Dendra berteriak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Tirta dan Ganba yang masih tertidur.
Dendra kemudian bergegas keluar menuju tenda kecil di samping tenda mereka bertiga.
Dia berteriak agak pelan."Nay, bangun. Udah telat nih kita. Katanya mau ke atas?"
Tak terdengar suara dari tenda kecil itu. Dendra merasa sedikit khawatir. Dia membuka pintu tenda dan mendapati perempuan yang seharusnya ada di tenda itu, raib.
"GAN! TA! Nay nggak ada!"Tirta terbangun mendengar teriakan Dendra. Mereka berdua mencari Nay di sekitar perkemahan mereka.
"Nay! Jangan sembunyi dong! Nggak lucu oi!"
"Hei, Dendra, Tirta!"
Dari kejauhan seorang perempuanberambut panjang yang memakai jaket dan celana jeans panjang menghampiri mereka. Wajahnya terlihat segar.
"Brrr, airnya dingin banget. Kayak mandi pake air es lho. Ng, kalian lagi nyari apa? Bisa dibantu?" tanya Nay dengan wajah tak bersalah.
"Kamu nggak apa-apa kan, Nay?" Dendra memegang pundak Nay.
"Nggak papa kok. Emang ada apa sih?"
"Jadi kamu barusan mandi? Tau nggak kita takut kamu kenapa-napa. Tiba-tiba nggak ada di tenda. Kirain kamu diculik kek, atau jatuh ke jurang. Ini datang-datang malah senyum-senyum gitu." Tirta yang merasa kesal menyerang Nay bertubi-tubi.
"Ya, maaf deh. Habis, waktu aku bangun, kalian masih ngorok aja. Ya udah, aku mandi. Maaf ya." Nay memohon sambil mengatupkan kedua tangan di depan mukanya.
"Hh... ya aku maafin."
"Hehehe." tawa Nay tanpa rasa bersalah, "tapi makasih ya, udah khawatir sama aku. Ta. Den."
Tak tahu mengapa ada sesuatu yang berdesir dalam diri salah satu kaum Adam tersebut. Melihat tawa dan tingkah laku lawan jenisnya yang satu ini membuat perasaannya hangat. Lamunannya buyar saat Nay menanyakan keberadaan teman mereka yang satu lagi. Di antara mereka tidak terlihat sosok tambun yang biasanya selalu hadir. Tirta, Dendra, dan Nay melongok ke tenda besar. Mereka melihat sosok tambun itu masih melingkar di balik selimutnya.
"GANBA!!!"

***

Ironi

Sayup-sayup terdengar ayam jantan melakukan tugas rutinnya. Tak terdengar lagi suara jangkrik atau azan subuh. Dari arah dapur kudengar alunan bunyi parang dan kayu. Aku bangkit dari peraduanku.
“Sudah bangun, Pak.”
“Hm….”
Kulihat istriku sedang serius menekuni pekerjaannya. Pekerjaan rutin setiap pagi. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga bagi keluarga kami. Bahkan, pekerjaan yang seharusnya kulakukan, mencari sepiring nasi bagi anak-anakku. Kuambil handuk yang sudah berbau apek dan berlubang di mana-mana. Aku melangkahkan kakiku dengan berat ke kamar mandi. Kubiarkan air dingin membasuh tubuhku dan menyadarkanku.

***

Aku merebahkan tubuhku di atas dipan tempat tidurku. Kulihat kedua anakku yang masih berusia sekolah dasar bermain di depan gubuk reyot ini. Badanku yang sudah “karatan” ini sakit semua. Kupaksakan melakukan semua pekerjaan rumah. Bahkan, pekerjaan untuk menghidupi keluarga ini saja, aku yang melakukannya. Tentu saja hanya dengan membuka warung tidak akan mampu membayar uang-uang untuk hidup. Apalagi suamiku, laki-laki pemalas itu, tidak bekerja. Kerjanya hanya pergi entah ke mana dan pulang sore hari atau tengah malam. Baru saja dia berpamitan denganku. Katanya akan mencari kerja. Aku sudah tidak ingat lagi berapa kali dia mengatakan hal yang sama. Tapi hasilnya, dia selalu pulang dengan wajah muram.
Tuhan, mengapa Kau beri aku kehidupan seperti ini? Dari kecil aku sudah mengerjakan semua kewajibanku pada-Mu. Bahkan, tak pernah sekalipun aku menyentuh semua yang Kau larang. Apa itu semua belum cukup? Aku menitikkan air mata lagi. Air mata yang tak pernah kutahu kapan akan kering. Air mata yang kutumpahkan saat aku memikirkan kehidupanku saat ini. Air mata yang senantiasa hadir saat kutunggu laki-laki itu pulang.
Aku ingin mati. Entah mengapa, tiba-tiba hal tersebut terlintas dalam pikiranku. Ya, aku mau mati. Daripada terus menderita seperti ini, lebih baik aku mati saja. Memang, sudah berkali-kali aku memikirkan kematian. Namun, dorongan itu menjadi kuat hari ini. Buat apa hidup seperti ini? Hidup dengan lelaki tak berguna. Tapi, kasihan juga anak-anakku jika aku tak ada. Mereka juga akan menderita. Apa mereka juga harus ikut denganku? Ya. Tidak, tidak. Tapi, ya, mereka juga harus mati. Aku berjalan tertatih dan mengambil sebotol racun tikus dari rak piring. Kutuangkan racun berwarna putih itu ke dalam dua gelas air. Kupanggil kedua anakku yang tengah bermain.
“Dul, Gus, kemari sebentar, Nak.”
“Ada apa Bu?” sahut mereka.
“Ini minum dulu. Kalian pasti capek kan.”
Kuberikan dua gelas racun tikus itu pada mereka. Tanpa rasa curiga, mereka langsung meminumnya sampai habis. Mataku berkaca-kaca. Mengapa? Bukankah aku sudah yakin? Aku tidak boleh ragu. Aku juga meminum racun itu segera. Ya, hanya satu tujuanku. Aku akan pergi dari dunia busuk ini. Maafkan aku suamiku. Maafkan aku Tuhan.

***

Sinar matahari semakin membakar kulitku. Bau sampah yang bertumpukan di sekitarku sudah tak terasa. Aku sudah tak tahu berapa lama aku duduk di sini. Sambil menghisap rokok kegemaranku, aku menunggu umpan di kailku dimakan oleh ikan-ikan di sungai ini. Ini memang yang seiap hari aku lakukan. Tapi, mungkin ini hari baikku. Baru saja seorang pria berdasi, yang duduk di sebelahku tadi, menawarkan pekerjaan padaku. Pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih di kantornya. Aku sadar selama ini aku tidak berusaha menafkahi keluargaku. Aku merasa bersalah pada istriku yang malah melakukan tugas itu. Sekarang saatnya aku membalas budinya selama ini. Walaupun pekerjaan itu tak seberapa menghasilkan. Aku ingin berguna bagi keluargaku. Aku tak ingin lagi menjadi lelaki pemalas yang kerjanya hanya memancing.
Kubereskan alat pancingku yang telah menemaniku sepanjang hari. Aku berlari dan akan memberitahukan kabar gembira ini pada istri dan anak-anakku. Mulai sekarang tidak akan ada lagi suami pemalas. Tidak akan ada lagi tangisan istriku setiap malam. Tidak akan ada lagi wajah lesu saat aku pulang. Yang ada hanyalah wajah lelahku saat aku pulang kerja, serta wajah-wajah gembira istri dan anak-anakku yang menyambutku.