Ironi

Sayup-sayup terdengar ayam jantan melakukan tugas rutinnya. Tak terdengar lagi suara jangkrik atau azan subuh. Dari arah dapur kudengar alunan bunyi parang dan kayu. Aku bangkit dari peraduanku.
“Sudah bangun, Pak.”
“Hm….”
Kulihat istriku sedang serius menekuni pekerjaannya. Pekerjaan rutin setiap pagi. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga bagi keluarga kami. Bahkan, pekerjaan yang seharusnya kulakukan, mencari sepiring nasi bagi anak-anakku. Kuambil handuk yang sudah berbau apek dan berlubang di mana-mana. Aku melangkahkan kakiku dengan berat ke kamar mandi. Kubiarkan air dingin membasuh tubuhku dan menyadarkanku.

***

Aku merebahkan tubuhku di atas dipan tempat tidurku. Kulihat kedua anakku yang masih berusia sekolah dasar bermain di depan gubuk reyot ini. Badanku yang sudah “karatan” ini sakit semua. Kupaksakan melakukan semua pekerjaan rumah. Bahkan, pekerjaan untuk menghidupi keluarga ini saja, aku yang melakukannya. Tentu saja hanya dengan membuka warung tidak akan mampu membayar uang-uang untuk hidup. Apalagi suamiku, laki-laki pemalas itu, tidak bekerja. Kerjanya hanya pergi entah ke mana dan pulang sore hari atau tengah malam. Baru saja dia berpamitan denganku. Katanya akan mencari kerja. Aku sudah tidak ingat lagi berapa kali dia mengatakan hal yang sama. Tapi hasilnya, dia selalu pulang dengan wajah muram.
Tuhan, mengapa Kau beri aku kehidupan seperti ini? Dari kecil aku sudah mengerjakan semua kewajibanku pada-Mu. Bahkan, tak pernah sekalipun aku menyentuh semua yang Kau larang. Apa itu semua belum cukup? Aku menitikkan air mata lagi. Air mata yang tak pernah kutahu kapan akan kering. Air mata yang kutumpahkan saat aku memikirkan kehidupanku saat ini. Air mata yang senantiasa hadir saat kutunggu laki-laki itu pulang.
Aku ingin mati. Entah mengapa, tiba-tiba hal tersebut terlintas dalam pikiranku. Ya, aku mau mati. Daripada terus menderita seperti ini, lebih baik aku mati saja. Memang, sudah berkali-kali aku memikirkan kematian. Namun, dorongan itu menjadi kuat hari ini. Buat apa hidup seperti ini? Hidup dengan lelaki tak berguna. Tapi, kasihan juga anak-anakku jika aku tak ada. Mereka juga akan menderita. Apa mereka juga harus ikut denganku? Ya. Tidak, tidak. Tapi, ya, mereka juga harus mati. Aku berjalan tertatih dan mengambil sebotol racun tikus dari rak piring. Kutuangkan racun berwarna putih itu ke dalam dua gelas air. Kupanggil kedua anakku yang tengah bermain.
“Dul, Gus, kemari sebentar, Nak.”
“Ada apa Bu?” sahut mereka.
“Ini minum dulu. Kalian pasti capek kan.”
Kuberikan dua gelas racun tikus itu pada mereka. Tanpa rasa curiga, mereka langsung meminumnya sampai habis. Mataku berkaca-kaca. Mengapa? Bukankah aku sudah yakin? Aku tidak boleh ragu. Aku juga meminum racun itu segera. Ya, hanya satu tujuanku. Aku akan pergi dari dunia busuk ini. Maafkan aku suamiku. Maafkan aku Tuhan.

***

Sinar matahari semakin membakar kulitku. Bau sampah yang bertumpukan di sekitarku sudah tak terasa. Aku sudah tak tahu berapa lama aku duduk di sini. Sambil menghisap rokok kegemaranku, aku menunggu umpan di kailku dimakan oleh ikan-ikan di sungai ini. Ini memang yang seiap hari aku lakukan. Tapi, mungkin ini hari baikku. Baru saja seorang pria berdasi, yang duduk di sebelahku tadi, menawarkan pekerjaan padaku. Pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih di kantornya. Aku sadar selama ini aku tidak berusaha menafkahi keluargaku. Aku merasa bersalah pada istriku yang malah melakukan tugas itu. Sekarang saatnya aku membalas budinya selama ini. Walaupun pekerjaan itu tak seberapa menghasilkan. Aku ingin berguna bagi keluargaku. Aku tak ingin lagi menjadi lelaki pemalas yang kerjanya hanya memancing.
Kubereskan alat pancingku yang telah menemaniku sepanjang hari. Aku berlari dan akan memberitahukan kabar gembira ini pada istri dan anak-anakku. Mulai sekarang tidak akan ada lagi suami pemalas. Tidak akan ada lagi tangisan istriku setiap malam. Tidak akan ada lagi wajah lesu saat aku pulang. Yang ada hanyalah wajah lelahku saat aku pulang kerja, serta wajah-wajah gembira istri dan anak-anakku yang menyambutku.

0 komentar: